Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah mengapresiasi, upaya Ditjen Bea Cukai memberantas praktik splitting dalam impor barang kiriman lewat e-commerce. Penerapan anti-splitting berjalan sejak Oktober 2018.
Dia mengakui, kebijakan anti-splitting berdampak pada kenaikan pendapatan pelaku industri ritel, khususnya peritel offline. Meskipun demikian, dia tidak menyampaikan secara rinci nilai kenaikan pendapatan yang diperoleh pihaknya.
“Anti-splitting ini membantu peritel yang waktu itu dengan ditindaknya (spliting), omzetnya offline naik 3 persen,” kata dia, di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
“Data penjualan kami ritel offline dari bulan Oktober ada peningkatan, di anggota Hippindo, pabrik garmen dan bahan baku tekstil mulai bergerak,” tambah dia.
Dia pun mendorong agar upaya penegakan hukum dalam kegiatan usaha perlu harus ditingkatkan demi menciptakan iklim usaha yang kondusif. Selain itu untuk menciptakan level playing field yang sama antara usaha online dan offline.
“Kami menekankan kami tidak anti online banyak yang sudah berubah ke online juga. Tapi kami karena memiliki suatu tata tertib berusaha yang benar, kami memenuhi semua persyaratan yang diminta pemerintah,” ungkapnya.
Dia pun mengharapkan penegakan hukum dapat lebih ditingkatkan dan diperluas cakupannya. “Anti splitting ini bisa ditingkatkan tapi tidak hanya pajak, tata tertib niaga, dan perlindungan konsumen dari pengawasan barang beredar,” imbuhnya.
“Kami sudah lakukan, terhadap semua anggota. Sangat diharapkan tetap kontinyu sehingga seluruh kepentingan dalam negeri dilindungi oleh Bea Cukai,” tandas dia.
Praktik splitting merupakan memecah transaksi impor untuk hindari bea masuk maupun pajak impor. Oleh karena itu, pemerintah melalui Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan mengubah kebijakan impor barang kiriman melalui e-commerce.
Salah satunya menurunkan batas nilai barang impor yang dibebaskan bea masuknya dari sebelumnya USD 100 menjadi USD 75 per orang dalam satu hari transaksi.