Mencari Model Bisnis Ritel (Online) Masa Depan

0
2822

Dalam dua tahun terakhir banyak peritel yang gulung tikar. Itu sebabnya pengusaha ritel harus mengubah model bisnisnya. Bagaimana model bisnis yang bisa mengakomodasikan perubahan pola belanja orang yang showrooming atau webrooming?

Februari 2018, Target mengumumkan bahwa mereka menyediakan layanan pengiriman barang hari yang sama ke seluruh AS. Ini merupakan respon salah satu peritel di AS atas semakin panasnya persaingan antar peritel fisik dan belanja online di AS, seperti Amazon, yang mendominasi 38 persen belanja online. Sekaligus menjawab kebutuhan pelanggan yang menuntut kecepatan lebih tinggi, kenyamanan yang lebih besar, dan harga yang lebih rendah.

Secara tradisional peritel bersaing untuk memperluas pangsa pasar regional melalui pembukaan toko-toko baru seperti yang dilakukan Transmart belakangan. Sampai tahun lalu, Transmart berekpansi ke daerah-daerah tingkat dua hingga gerainya mencapai lebih dari 130an. Di sisi lain, publik mendapat informasi di tutupnya puluhan gerai Hero dan Giant.

Era digital telah mengubah pola belanja masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, menurut pemilik CT Corp – grup yang menaungi Transmart dan Carrefour — Chairul Tanjung, pengusaha retail harus mengubah model bisnisnya. “Kalau (model bisnis) tidak berubah, ya pasti akan kalah. Kalau kalah, ya mau enggak mau harus tutup,” katanya di Jakarta, Senin (14/1).

Ada yang tidak sepakat bila banyak ritel yang tutup tersebut gara-gara e-commerce. Kendurnya sektor retail ini bukan dikarenakan masyarakat beralih pijakan ke perdagangan online. Sebab, masih sedikit sekali pelaku industri ritel yang memperdagangkan barangnya di pasar online.

“Kalau ada yang bilang karena shifting ke e-commerce itu tidak pas. Porsi e-commerce baru kecil, sekitar 1-2 persen dari total ritel,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara. “Barang yang dijual di e-commerce 70 persen lebih adalah fashion. Sementara yang dijual di supermarket adalah Fast Moving Consumer Good (FMCG). Jadi market-nya pun berbeda.”

Sepakat atau tidak sepakat, realitasnya kebiasaan orang berbelanja kini telah berubah. Dulu bila ingin membeli suatu produk, orang dating ke toko dan belanja dan beli (first moment of truth). Kemudian, sejalan dengan perkembangan teknologi, ketika ingin membeli produk, orang membandingkan dulu dengan mencari informasi di google (zero moment of truth).

Ketika smartphone makin marak, ketika seseorang berdiri di depan etalasi atau koridor toko, dia mengeluarkan smartphonenya dan melihat apakah ada kemungkinan untuk mendapatkan harga online yang lebih baik (showrooming). Sebaliknya, ada pula yang mencari produk di online, memeriksa item yang disukai dan pergi ke toko untuk membelinya.

Beberapa peritel berasumsi bahwa untuk beradaptasi dengan perubahan pasar, cukup mengotak-atik proposisi nilai. Meskipun hampir selalu diperlukan untuk menjaga proposisi nilai tetap sejalan dengan perubahan di pasar, peritel paling sukses selalu melakukan perubahan secara signifikan model operasinya. Ini karena proposisi nilai dan model operasi secara bersama-sama bertanggung jawab atas keberhasilan seluruh model bisnis.

Proposisi nilai adalah penawaran pembeda yang dibuat perusahaan kepada pelanggannya. Ini mencakup elemen-elemen: Produk atau layanan, termasuk kedalaman dan luasnya yang bermacam-macam, opsi label pribadi, dan kualitas produk. Ada juga pengalaman berbelanja pelanggan, termasuk tata letak fisik toko dan pengaturan barang dagangan.

Selain itu, model penetapan harga dan pendapatan, termasuk strategi penetapan harga (seperti harga rendah tinggi atau rendah setiap hari) dan layanan bernilai tambah, seperti pengiriman gratis juga menjadi proposisi niai.

Kajian Boston Consulting Group menyebutkan bahwa model operasi mendukung proposisi nilai dengan memungkinkan pengecer untuk memenuhi janjinya kepada pelanggannya. Ini termasuk model biaya (sumber dan operasi toko), struktur rantai nilai (tingkat integrasi dengan pemasok dan logistik, misalnya), dan proses organisasi.

Persoalannya adalah sebagian besar waktu dan sumber daya manajer cenderung berfokus pada perubahan hanya pada satu atau dua elemen model bisnis. Hanya sedikit perusahaan yang berpikir untuk mengubahnya sepenuhnya.

Pada tahun 1979, Profesor Sekolah Bisnis Harvard Michael Porter memperkenalkan kerangka lima strategi dalam bersaing. Inti dari perumusan strategi adalah bagaimana cara untuk mengatasi persaingan. Pemasar modern memiliki sejumlah alat untuk mendorong pertumbuhan di lingkungan kompetitif yang didukung oleh data untuk membuat keputusan — seperti penetapan harga, promosi, dan media. Tetapi ketika berbicara dengan pemasar tentang pertumbuhan, tidak ada tuas yang dikutip lebih sering daripada inovasi.

Masalahnya adalah, inovasi masih merupakan artefak mistik dari strategi dalam lingkungan kompetitif saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan berbasis teknologi internet dan perusahaan jejaring sosial yang mendirikan zona ekonomi.

Karakteristik utama dari zona ekonomi ini adalah perusahaan yang sukses seringkali merupakan operator platform, bukan pencipta konten. Perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan teknologi canggih untuk menyediakan tempat pertukaran informasi, barang, layanan, dan dana yang lancar antara pembuat konten dan konsumen.

Ketika teknologi dan pesaing berubah, komponen yang membedakan satu perusahaan dari perusahaan lain juga berubah. Ada perkiraan bahwa ke depan, perbedaan harga suatu produk dengan lainnya menyusut. Karena perbedaan harga yang sempit, distribusi produk menjadi faktor pembeda yang penting dan pengecer mulai menekankan layanan klik, kumpulkan, bayar dan kirim.

Namun demikian, diakui atau tidak, setiap konsumen adalah unik dan berperilaku berbeda dari yang lain. Setiap orang membeli produk karena alasan tertentu atau alasannya sendiri. Menurut survei pelanggan, untuk barang kebutuhan sehari-hari, 55% pelanggan lebih memilih penjemputan di dalam toko daripada pengiriman ke rumah. Merespon fenomen tersebut, salah satu pengecer AS memulai program percontohan di mana produk makanan yang dipesan secara online dapat diambil di toko fisik.

Pengelola merek memang harus berbenah. Tugas pengelola merek merawat bisnis dan peduli dengan kebutuhan masyarakat. Tugas pertama dan terpenting dari manajer adalah melindungi dan membesarkan bisnis mereka. Masa gejolak seperti sekarang yang diakibatkan perkembangan teknologi, banyaknya gangguan, dan inovasi gencar mengusik, menggarisbawahi prinsip-prinsip tersebut.

Teknologi digital memiliki dampak besar pada ekonomi dunia. Digitalisasi memberikan banyak dorongan teknologi, dan jumlah perusahaan yang terus meningkat mengambil dorongan teknologi, menggabungkannya dengan tindakan ekonomi dan mengubahnya menjadi tarikan ekonomi dengan konsekuensi yang luar biasa bagi pasar dan industri yang ada.

Benarkah ritel fisik bakal mati. Ada yang berpendapat bahwa ritel bagaimanapun tidak akan mati. Hanya saja yang terjadi sekarang, ritel yang ada menjadi membosankan. Penutupan toko di negara-negara tertentu mencapai tertinggi sepanjang masa pada tahun 2017. Daftar merek ritel lama tutup terlalu lama untuk dicantumkan.

Yang sering diabaikan adalah kenyataan bahwa banyak ritel atau toko yang dibuka juga. Pada Januari 2019, di tingkat global, lebih dari 90 persen transaksi semua ritel masih dilakukan di toko fisik. Merek-merek ritel ikonik seperti Apple, Sephora dan Costco sukses, dan sebagian besar mengandalkan toko fisik.

Konsekuensinya adalah kelas-kelas pengecer baru bermunculan. Ada pengecer yang mulai online dan pindah ke fisik dan lainnya menggabungkan “fisik dan klik.” Pengecer berusaha memahami bagaimana pola pengeluaran konsumen, dan bagaimana konsumen mencari, berbelanja, dan membeli kebutuhannya untuk merancang model ritel baru.

Apakah itu berarti, memiliki ruang pamer atau hanya memiliki kehadiran yang kuat dalam e-commerce, pengecer menemukan kembali cara mereka melakukan bisni. Sederhananya, toko yang berkinerja baik menawarkan pengalaman pelanggan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

Menurut Chairal Tanjung, Komisaris PT Trans Corp, pada masa sekarang sulit untuk melihat diferensiasi antara supermarket satu dengan yang lain. Untuk menciptakan diferensiasi, ritel Transmart mengusung konsep ritel 4 in 1, ada theme park, mini trans studio, varian restoran dan café, serta bioskop.

Disini Transmart sebagai supermarket tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan harus dilengkapi dengan fasilitas gaya hidup lain. Yang menarik, konsep itu ditempelkan dengan hunian apartemen dan perkantoran, bahkan kampus seperti yang tengah dibangun di Bekasi.

Banyak anggapan bahwa konsumen akan mengunjungi toko fisik selama ada alasan baru dan menarik untuk dituju. Pengecer terkemuka memanfaatkan ruang fisik mereka untuk memaksimalkan pengalaman per kaki persegi dan interaksi nyata yang dimiliki pelanggan di sana. Singkatnya, pelanggan akan berbelanja di mana mereka menikmati pengalaman mereka, ini bisa di satu saluran atau kombinasi saluran

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here